Pasal
27 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) yang menyebutkan ancaman itu. Secara lengkap, ayat itu
berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.” Selanjutnya, tercantum di Pasal 45 UU ITE, sanksi pidana bagi pelanggar
pasal 27 ayat (3) yaitu penjara enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Kehadiran
pasal itu membuat geram para blogger, lembaga swadaya masyarakat pemilik situs,
dan para pengelola situs berita online. mereka merasa terancam haknya
menyiarkan tulisan, berita, dan bertukar informasi melalui dunia maya. Pasal
itu dianggap ancaman terhadap demokrasi. Namun ada beberapa kalangan yang menggangap pasal ini pro dan kontra. Untuk kalangan pro pasal ini dianggap bisa melindungi, karena kita masih bisa menuangkan ekpresi bebas asalkan bertanggung jawab kemudian dampak
kerusakan yang dihasilkan oleh pencemaran dengan menggunakan teknologi
informasi yang bersifat meluas, jangka panjang dan dapat berulang sehingga
kerugian yang dialami korban jauh lebih besar dibandingkan
apabila pencemaran terjadi melalui saluran konvensional. Dan untuk kalangan kontra, menganggap pasal 27 ayat 3 ini
sebagai hambatan, maka sesungguhnya kita membiarkan kebebasan berekspresi
khususnya di dunia internet diberangus. Akibatnya, pernyataan-pernyataan kritis
yang selama ini muncul akan lama-lama mengabur atau hilang kembali dan memandang
UU ITE ini sebagai sikap gagap penyelenggara negara dalam demokrasi. Pemerintah
ingin dilihat oleh dunia sebagai negara yang demokratis, tetapi tidak siap untuk
menerima konsekuensi dari masyarakat yang demokratis. Salah satu konsekuensi
praktis dari demokrasi adalah kebebasan berpendapat yang di internet hal itu
berarti kebebasan hampir tanpa batas.
Sebagaimana
diketahui bersama, zaman ini yang berkuasa adalah informasi. Apalagi dengan
media internet, informasi ini bisa bergerak dan menyebar hampir secepat kejapan
mata. Lihat saja bagaimana akhir-akhir ini pergerakan sosial politik di banyak
negara didorong dan difasilitasi oleh sosial media internet. Terlepas dari
benar tidaknya informasi yang beredar, tidak bisa disangkal bahwa informasi
bisa menggiring opini publik.
Untuk menyiasati pasal ini kita harus lebih pandai dalam membedakan antara fakta dan opini, kalau memang fakta setidaknya kita harus menyertakan dokumen - dokumen yang asli dari narasumbernya yang jika nanti kita dituntut setidaknya kita memiliki bukti yang kuat dan untuk opini boleh saya jika berekpresi asalkan kita tahu mana batasannya agar pihak terkait tidak merasa dirugikan oleh opini yang kita tulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar